HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dr. Budiman N.P.D
Sinaga,S.H.M.H.
Sejak
semula setiap orang memerlukan orang lain. Seseorang memerlukan orang lain
untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dalam perkembangannya tidak hanya orang yang
mempunyai berbagai kebutuhan melainkan subjek hukum lain juga, seperti
perusahaan. Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan orang atau perusahaan
pun semakin beragam. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan itu dapat diperoleh
dengan bebas tetapi sebagian lagi tidak bebas, antara lain hanya dapat
diperoleh melalui perdagangan. Sebagian dari kebutuhan itu dapat diperoleh
dengan mudah dari sekitarnya tetapi sebagian lagi hanya dapat diperoleh dari
tempat-tempat yang jauh bahkan dari negara yang berbeda.
Perdagangan
yang melibatkan para pihak dari lebih satu negara disebut perdagangan
internasional (international trade) atau bisnis internasional (internatioal
business). Perdagangan internasional atau bisnis internasional terutama
dilaksanakan melalui perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli internasional
dikenal dengan sebutan perjanjian ekspor/impor, kegiatan jual disebut ekspor
dan kegiatan beli disebut impor. Pihak penjual disebut eksportir dan pihak
pembeli disebut imporir. Secara ringkas kegiatan ini disebut ekspor dan impor.
Walaupun
perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya tidak berbeda dengan perjanjian jual
beli pada umumnya yang diselenggarakan dalam suatu negara tetapi mempunyai
beberapa perberdaan, antara lain: Pembeli dan penjual dipisahkan dengan
batas-batas negara, barang yang diperjualbelikan dari satu negara ke negara
lain terkena berbagai peraturan seperti kepabeanan yang dikeluarkan
masing-masing negara, diantara negara-negara yang terkait terdapat berbagai
perbedaan seperti bahasa, mata uang, kebiasaan dalam perdagangan, hukum, dan
sebagainya.
Kegiatan
ekspor/impor berkaitan erat dengan pembayaran. Cara pembayaran yang dikenal
dalam ekspor/impor antara lain: secara tunai (cash payment), secara
rekening terbuka (open account), dan secara penarikan wesel atau suatu Letter
of Credit (L/C)
Istilah
Letter of Credit (L/C) ini sering juga disebut dengan Documentary
Credit (Kredit Berdokumen) atau Banker Commercial Credits. Di
Belanda istilah yang dipakai adalah creditbrief, di Perancis lettre
de creedet, di Jerman accredietief, sedangkan di Belgia atau Amerika
Serikat istilah yang digunakan adalah crediet atau credit saja.
Para
pihak dalam praktik transaksi bisnis secara internasional seringkali menghadapi
kesulitan dalam memastikan hak dan kewajiban mereka karena berada di negara
yang berbeda. Masalah yang sering timbul dalam jual beli internasional karena
perbedaan hukum diantara negara penjual dan pembeli adalah: Kekuatan hukum
negosiasi, akseptasi yang berbeda dengan tawaran, pembatalan suatu tawaran,
perlu tidaknya suatu Consideration, keharusan kontrak tertulis, dan
waktu dianggap tercapainya kata sepakat.
A.
Perjanjian Ekspor/Impor
1.
Pengertian Perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. A
contract is a promise or a set of promises, which the law will enforce.
Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Suatu
perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Berdasarkan hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan (prestasi), perjanjian dibagi
dalam tiga macam, yaitu:
1.
Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;
2.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian
ekspor/impor pada hakikatnya merupakan perjanjian yang berisi perjanjian untuk
memberikan/menyerahkan suatu barang. Di satu pihak penjual menyerahkan sejumlah
barang sesuai dengan kualitas, jumlah, dan karaketristik tertentu kepada
pembeli. Sementara di pihak lain pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada
penjual sesuai dengan harga yang disepakati.
2.
Sistem Terbuka Dalam Perjanjian
Hukum
perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem ini kemudian melahirkan prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan
kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.
a.
Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan
sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi
kontrak tersebut.
b.
Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan
sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika
terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut.
c.
Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak
melakukan penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.
Kebebasan
di atas tidak hanya berlaku untuk perjanjian yang hanya meliputi satu wilayah
negara melainkan berlaku juga dalam perjanjian yang melintasi batas-batas
negara. Dalam perjanjian ekspor impor dapat dipilih hukum yang dipakai, bisa
hukum negara salah satu pihak, hukum negara lain di luar para pihak, hukum dari
suatu organisasi internasional, atau hukum lain.
Demikian
pula tentang penyelesaian sengketa jika terjadi dapat dipilih berbagai cara
penyelesaian, melalui arbitrase, pengadilan, atau cara-cara lain. Bahkan untuk
suatu cara penyelesaian sengketa dapat dirinci lagi, misalnya arbitrase yang
akan digunakan ditentukan secara pasti, di negara tertentu dari lembaga
tertentu mengingat lembaga arbitrase yang ada sekarang sudah sangat banyak.
3.
Beberapa Asas Hukum Perjanjian
Dalam
hukum perjanjian dikenal berbagai asas, antara lain asas konsensualisme. Kata
konsensualisme berasal dari kata latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang
timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.
Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai
hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. Perjanjian
menurut KUH Perdata secara umum bersifat konsensuil kecuali beberapa perjanjian
tertentu yang merupakan perjanjian riil atau formil.
Perjanjian
riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok
perjanjian telah diserahkan. Contoh dari perjanjian riil adalah utang piutang,
pinjam pakai, dan penitipan barang.
Dalam
perkembangan, suatu perjanjian dapat mengalami perubahan dari konsensuil
menjadi riil. Sebagai contoh perjanjian jual beli menurut KUH Perdata pada
asasnya merupakan perjanjian konsensuil. Akan tetapi perjanjian jual beli tanah
menurut hukum agraria yang berlaku sekarang merupakan perjanjian riil karena
didasarkan pada hukum adat yang bersifat riil.
Selanjutnya
dikenal perjanjian formil, yaitu perjanjian yang menurut undang-undang harus
dituangkan dalam bentuk atau formalitas tertentu. Misalnya perjanjian
perkawinan, perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik, atau perjanjian
pendirian perseroaan terbatas harus dituangkan dalam akta otentik. Di samping
itu ada perjanjian yang cukup tertulis saja, tidak perlu berupa akta otentik,
seperti perjanjian pertanggungan.
4.
Syarat Sah Perjanjian
Penjajian
harus memenuhi beberapa syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Dalam KUH
Perdata ditemukan ketentuan yang menyebutkan syarat sah suatu perjanjian yakni
Pasal 1320. Menurut Pasal 1320 KUHP ada 4 syarat yang harus dipenuhi suatu
perjanjian supaya sah, yaitu:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3.
Mengenai suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Dua
syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai
orang-orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Secara
ringkas masing-masing syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui
kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan,
kekeliruan, dan penipuan.
Cakap
(bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum
secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh
suatu perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Dengan
kata lain orang yang tidak cakap tidak memenuhi syarat untuk membut perjanjian.
Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata ialah:
1.
Orang-orang yang belum dewasa;
2.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3.
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
persetujuan-persetujuan tertentu.
Pengertian
suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi obyek suatu perjanjian.
Menurut Pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus
tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak
perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.
Suatu
sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu
perjanjian sah. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa
suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dengan sebab (bahasa
Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini dimaksudkan tiada lain
dari pada isi perjanjian. Jadi, yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari
suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri
Setiap
perjanjian semestinya memenuhi keempat syarat di atas supaya sah. Perjanjian
yang tidak memenuhi keempat syarat tersebut mempunyai beberapa kemungkinan.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi dua syarat yang pertama atau syarat
subyektif maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap
atau pihak yang telah memberikan sepakat secara tidak bebas. Sedangkan
perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif mengakibatkan perjanjian itu
batal demi hukum (null and void). Perjanjian semacam ini sejak semula
dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar
untuk saling menuntut.
5.
Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-unsur
yang ada dalam suatu perjanjian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1.
Unsur essensialia
2.
Unsur naturalia
3.
Unsur accidentalia
Unsur
essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam setiap
perjanjian. Tanpa unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam
suatu perjanjian jual beli harus ada barang dan harga yang disepakati sebab
tanpa barang dan harga perjanjian jual beli tidak mungkin dapat dilaksanakan.
Adapun
unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur dalam undang-undang tetapi
dapat diganti atau disingkirkan oleh para pihak. Undang-undang dalam hal ini
hanya bersifat mengatur atau menambah (regelend/aanvullend). Sebagai
contoh, dalam suatu perjanjian jual beli dapat diatur tentang kewajiban penjual
untuk menanggung biaya penyerahan.
Sedangkan
unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak
sebab undang-undang tidak mengatur tentang hal itu. Sebagai contoh, perjanjian
jual beli rumah beserta alat-alat rumah tangga.
6.
Pengakhiran Perjanjian
Di
dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang pengakhiran perjanjian.
Secara khusus dalam Pasal 1381 disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri
perjanjian, yaitu: Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan; Pembaharuan utang (novatie); Perjumpaan
utang (kompensasi); Percampuran utang; Pembebasan utang; Musnahnya barang yang
terutang; Batal/pembatalan; Berlakunya suatau syarat batal dan Lewatnya waktu.
Cara-cara
di atas belum lengkap sebab masih ada cara-cara lain yang tidak disebutkan,
seperti berakhirnya suatu ketetapan waktu (“termijn”) dalam suatu perjanjian
atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti
meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam
perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur
sendiri dan tidak oleh seorang lain.
Pembayaran
adalah setiap pelunasan perikatan. Jadi, misalnya, pemenuhan persetujuan kerja
oleh buruh atau penyerahan barang oleh penjual. Pada umumnya dengan
dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi ada kalanya bahwa
perikatannya tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula
(subrogasi).
Pembayaran
adalah setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat
luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian tetapi pihak
penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang
dijualnya.
Hapusnya
persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya perikatan karena
suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya
masih tetap ada. Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh jual beli, pembayaran
menyebabkan perikatan mengenai pembayaran hapus tetapi persetujuan jual beli
belum sebab perikatan mengenai penyerahan barang belum berakhir jika belum
dilaksanakan. Persetujuan dapat hapus karena:
a.
Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlaku
untuk waktu tertentu.
b.
Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misalnya menurut
Pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama
waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu
persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 dibatasi berlakunya hanya untuk
lima tahun.
c.
Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu maka persetujuan akan hapus. Misalnya: jika salah satu meninggal
persetujuan menjadi hapus:
-
persetujuan perseroan Pasal 1646 ayat (4)
-
persetujuan pemberian kuasa Pasal 1813
-
persetujuan kerja Pasal 1603 j
d.
pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya
ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat sementara, misalnya:
-
persetujuan kerja
-
persetujuan sewa menyewa
e.
Persetujuan hapus karena putusan hakim.
f.
Tujuan persetujuan telah tercapai.
g.
Dengan persetujuan para pihak (herroeping).
Dalam
perjanjian ekspor/impor, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan mengenai
segala sesuatu yang berkaitan dengan ekspor/impor, termasuk mengenai
pengakhiran perjanjian. Selanjutnya mengenai pengakhiran perjanjian
pertama-tama harus memperhatikan alasan-alasan yang tercantum dalam perjanjian.
Pengakhiran dapat terjadi, baik ketika tujuan sudah tercapai maupun ketika
tujuan belum/atau tidak tercapai. Mengenai tujuan belum/tidak tercapai tetapi
perjanjian diakhiri misalnya karena satu atau semua pihak tidak lagi mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan isi perjanjian.
7.
Wanprestasi
Jika
ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka pihak itu dikatakan
melakukan wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad
perbuatan buruk). Wanprestasi dapat berupa empat macam:
a.
tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.
melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun
hukuman atau akibat-akibat wanprestasi ada empat, yaitu: Pertama: membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.
Kedua: pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; Ketiga:
peralihan risiko; Keempat: membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di
depan hakim.
8.
Force Majeur/Overmacht
Seseorang
yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan
dengan berbagai alasan, yaitu:
a.
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur);
b.
Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio
non adimpleti contractus);
c.
Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan
hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Khusus
mengenai keadaan memaksa dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan memaksa atau
keadaan kahar adalah:
“Keadaan
yang mengakibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan/atau haknya tanpa harus memberikan alasan sah kepada
pihak lainnya untuk mengajukan klaim atau tunttan terhadap pihak yang
tidak dapat melaksanakan kewajibannya (dan/atau haknya), karena keadaan
kahar itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yag tidak dapat
melaksanakan kewajibannya itu.”
Dengan
mengajukan keadaan memaksa hendak ditunjukkan bahwa tidak terlaksananya sesuatu
yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya
dan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal-hal yang terjadi. Menurut Subekti,
dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau keterlambatan
dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya.
Jika
memperhatikan ketentuan dalam KUH Perdata, mengenai keadaan memaksa diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245. Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal
1244: “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena
sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada padanya.”
Pasal
1255: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan
memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama
telah melakukan perbatan yang terlarang.”
Kedua
pasal di atas ditempatkan dalam bagian KUH Perdata mengenai gant rugi. Dasar
pemikiran pembuat undang-undang, ialah: Keadaan memaksa adalah suatau alasan
untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Mengenai
keadaan memaksa dikenal dua teori, yaitu teori subyektif dan teori obyektif.
Menurut teori subyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan
memaksa, jika pemenuhan prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin
dilaksanakan. Sementara itu, menurut teori subyektif, terdapat keadaan memaksa
jika debitur yang bersangkutan mengingat keadaan pribadi daripada debitur tidak
dapat memenuhi prestasinya.
Adapun
sifat dari keadaan memaksa itu dapat bersifat tetap dan sementara. Jika keadaan
memaksa bersifat tetap, perjanjian berhenti sama sekali. Misalnya barang yang
diekspor terbakar dan tidak mungkin diganti dengan barang lain.
Sedangkan
jika keadaan memaksa bersifat sementara, perjanjian tidak berhenti sama sekali
melainkan hanya ditunda. Pada saat keadaan memaksa tidak ada lagi, perjanjian
mulai berlaku kembali. Misalnya larangan untuk mengekspor sesuatu barang
berlaku selama jangka waktu tertentu. Selama larangan itu berlaku perjanjian
tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi setelah larangan tidak berlaku lagi
perjanjian dapat dilanjutkan atau dilaksanakan.
9.
Perjanjian Ekspor/Impor
Salah
satu perjanjian yang dikenal adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan.
Perkataan
jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual,
sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua
perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop
en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt”
(menjual) sedangkan yang lainnya “koopt” (membeli).
Jual
beli dapat terjadi di antara penjual dan pembeli yang berada dalam satu negara
maupun beberapa negara. Jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di
negara yang berbeda disebut jual beli internasional. Hukum tentang jual beli
internasional akan berjalan berbarengan dengan hukum tentang ekspor-impor.
Dengan demikian perjanjian ekspor/impor adalah perjanjian jual beli di antara
penjual dan pembeli yang berada di negara yang berbeda.
Perjanjian
ekspor impor adalah kesepakatan antara eksportir dan importir untuk melakukan
perdagangan barang sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama dan
masing-masing pihak mengikat diri untuk melaksanakan semua kewajiban yang
ditimbulkannya. Pihak yang ingkar janji akan dikenai sanksi dengan membayar
ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Adapun
hakikat dari kontrak dagang ekspor adalah rumusan kesepakatan akhir dari suatu
perundingan (negosiasi) bisnis, yang kadangkala berjalan seru dan alot serta
memakan waktu lama. Hal ini disebabkan penjual dan pembeli masing-masing
mempunyai kepentingan yang bertolak belakang. Pihak penjual secara umum akan
menawarkan mutu barang apa adanya, sedangkan pembeli menginginkan mutu barang
yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya.
Penjual
menginginkan harga yang tinggi, sebaliknya pembeli menginginkan harga yang
serendah mungkin. Penjual menginginkan pengiriman barang sesuai dengan
kemampuan produksi dan penyediaan ruangan kapal, sedangkan pembeli lebih
menghendaki pengiriman barang disesuaikan dengan musim pemasaran.
Hampir
semua kepentingan yang bertolak belakang (conflict of interest) ini
diselesaikan dengan cara negosiasi, sehingga tercapai kesepakatan yang akhirnya
dituangkan dalam bentuk kontrak dagang ekspor.
Kontrak
dagang ekspor/impor tidak timbul begitu saja melainkan melalui tahap-tahap
tertentu. Secara ringkas tahapan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Ekportir mempromosikan barang yang akan diekspor melalui berbagai cara, seperti
pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio, televisi, atau media lain, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri. Promosi dapat dilakukan sendiri melalui
badan-badan khusus yang menangani promosi ekspor seperti Badan Pengembangan
Ekspor Nasional (BPEN), Dewan Penunjang Ekspor (DPE), Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN), Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di luar negeri, atase
perdagangan Kedutaan Besar negara-negara asing di Jakarta, perwakilan-perwakilan
dagang asing seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM), China
External Trade Association (CETRA), Japan External Trade Organization (JETRO),
Korean Trade Agency (KOTRA), dan lain-lain.
2.
Importir yang berminat terhadap promosi yang dilakukan eksportir kemudian
mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada
eksportir. Letter of Inquiry ini berisi permintaan penawaran harga
disertai keterangan mengenai mutu barang yang diinginkan, kuantum yang ingin
dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta asing (US$ atau mata uang
lain), waktu pengiriman (shipment date) serta nama pelabuhan tujuan yang
diingini.
3.
Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga
atau offersheet yang berisi keterangan berdasarkan permintaan importir,
seperti uraian barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat
penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang,
brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga
menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer atau firms offer.
4.
Setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari eksportir, kemudian
importir membuat surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase
order kepada eksportir.
5.
Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai
dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah dengan
keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti
partial shipment, transhipment, vessel age dan lain-lain. Kontrak
tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk
ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu.
Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original).
6.
Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila dapat
menyetujuinya kemudia ia menandatangani dan mengembalikannya kepada eksportir.
Satu original copy ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi
yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s
confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Demikianlah
gambaran beberapa tahap atau proses dari pembuatan perjanjian ekspor/impor.
Perbedaan dapat terjadi untuk barang yang berbeda sebab membutuhkan perlakuan
yang berbeda dalam pelaksanaan ekspor/impor, baik oleh ekportir dan importir
maupun pihak-pihak lain yang terlibat.
Sejalan
dengan itu perjanjian ekspor/impor harus memenuhi tiga landasan utama suatu
perjanjian, yaitu:
a.
Asas konsensus: adanya kesepakatan antara kedua belah pihak secara suka rela.
b.
Asas obligatoir: mengikat kedua belah pihak untuk menjalankan semua hak dan
kewajiban masing-masing.
c.
Asas penalti: bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak lain jika tidak
memenuhi janji dalam menjalankan kewajibannya.
Dalam
perjanjian ekspor-impor sebagaimana perjanjian lain tentu saja memerlukan
kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang belum didasari suatu kesepakatan
akan mengalami kesulitan dalam pelaksaan. Akan tetapi, kesepakatan saja belum
cukup melainkan perlu diikuti dengan kesadaran para pihak untuk melaksanakan
kesepakan yang telah dibuat. Dalam upaya mendorong para pihak melaksanakan
perjanjian sering dicantumkan sanksi. Meskipun demikian sanksi seberat apapun
tidak akan bermanfaat banyak jika para pihak tidak mau menaati kesepakatan
semula. Pengenai sanksi buka saja sering tidak menyelesaikan masalah melainkan
sebaliknya justerus sering memperbesar masalah yang ada bahkan menambah masalah
baru.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu perjanjian ekspor/impor dapat bervariasi antara satu
perjanjian dengan perjanjian lain tergantug kebutuhan. Untuk perjanjian
ekspor/impor yang sederhana mungkin hanya terlibat beberapa pihak. Akan tetapi,
untuk perjanjian yang kebih rumit dapat terlibat lebih banyak pihak, baik
langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian sebagai gambaran dapat
dikemukakan bahwa pihak-pihak yang berhubungan dalam perjanjian ekspor/impor
antara lain meliputi.
1.
Hubungan hukum antara pembeli dan penjual
2.
Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank
3.
Hubungan hukum issuing bank dengan advising bank
4.
Hubungaan hukum issuing bank dengan penjual
5.
Hubungan hukum advising bank dengan penjual
Hubungan
antara pembeli dan penjual dalam perjanjian ekspor/impor tidak berbeda dengan
jual beli pada umumnya. Pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual
berkewajiban menyerahkan barang. Selanjutnya pembeli berhak menerima barang
yang dibeli dan penjual berhak menerima pembayaran. Hubungan ini mungkin tidak
begitu jelas terlihat dalam perjanjian ekspor/impor yang menggunakan L/C sebab
pembayaran tidak langsung dilakukan oleh pembeli kepada penjual melainkan
melalui bank.
Hubungan
hukum pembeli dengan issuing bank dimulai ketika pembeli atau importir
meminta bank membuka L/C untuk kepentingan penjual/elsportir. Jika bank yang
dihubungi importir (issuing bank) tidak dapat berhubungan langsung
dengan eksportir karena berbagai sebab seperti tidak/belum adanya kantor bank
tersebut di negara pengekspor, bank tersebut akan menghubungi bank lain (advising
bank).
Jika
advising bank sudah mempunyai kantor atau cabang di negara issuing
bank, hubungan dapat dilakukan kepada cabang tersebut. Apabila ternyata
bank yang menjadi advising bank belum mempunyai cabang di negara issuing
bank, hubungan dapat dilakukan kepada kantor advising bank di negar
pengekspor atau negara lain yang paling memungkinkan.
Hubungan
hukum issuing bank dengan penjual dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Jika issuing bank mempunyai cabang di negara pengekspor
atau penjual, dimungkinkan terjadi hubungan langsung. Dalam hal ini dapat
dikatakan issuing bank bertindak untuk kepentingan pembeli dan penjual.
Akan tetapi tidak selalu issuing bank mempunyai kemampuan berhubungan langsung
dengan penjual sehingga memerlukan satu atau beberapa bank lain. Jika keadaan
ini yang terjadi hubungan antara issuing bank dan penjual dapat
dikatakan sebagai hubungan yang tidak langsung.
Hubungan
hukum advising bank dengan penjual terjadi dalam rangka pembayaran atas
barang yang diekspor kepada penjual. Untuk kepentingan pembayaran itu penjual
harus lebih dulu menyerahkan sejumlah dokumen sesuai dengan persyaratan yang
dimuat dalam L/C.
Dalam
perjanjian ekspor/impor semua pihak senantiasa perlu berkeinginan agar
perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi karena berbagai sebab
dalam perjanjian ekspor/impor juga kadang-kadang ada pihak yang tidak taat
kepada kesepakatan dalam perjanjian atau tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka pihak itu dikatakan
melakukan wanprestasi.
Sebagaimana
telah disampaikan kadang-kadang ada pihak yang tidak mau melaksanakan
perjanjian, termasuk dalam ekspor/impor, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik
atas keinginan sendiri maupun tidak atas keinginan sendiri.
Seseorang
yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan
dengan berbagai alasan, yaitu: Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht
atau force majeur); mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri
juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); atau mengajukan
bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan
hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Demikianlah
beberapa hal mengenai perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian ekspor/impor.
Sebagian ketentuan yang berlaku secara umum berlaku juga bagi perjanjian
ekspor/impor. Akan tetapi dalam beberapa hal perjanjian ekspor/impor mempunyai
kekhususan dibandingkan dengan perjanjian lain, seperti melintasi batas-batas
dua negara bahkan sering sekali melintasi lebih dari pada dua negara
B.
Kredit Berdokumen/Letter of Credit (L/C)
1.
L/C Sebagai Perjanjian
Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terahdap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Kredit berdokumen
dibuka atas suatu perjanjian yang telah ditetapkan di dalam perjanjian jual
beli antara pihak pembeli dengan pihak penjual atau dapat pula ditentukan
setelah waktu diadakannya perjanjian jual beli itu sendiri, hal tersebut
tergantung kepada kesepakatan diantara kedua belah pihak.
Dengan
adanya janji (beding) pembukaan L/C dalam suatu perjanjian jual beli
maka pada asasnya sekaligus juga bahwa saat-saat untuk menepati prestasi dari
penjual dan pembeli diatur atau dipertegas, hal ini biasanya terjadi dengan
melihat kepada akibat selanjutnya bahwa penjual barulah akan menyerahkan
barangnya setelah pembeli menyuruh bank membuka kredit untuk kepentingan
penjual.
Apabila
perjanjian jual beli itu tidak memuat suatu petunjuk atau ketentuan yang
tegas-tegas atau diam-diam tentang kapankah saat pembukaan L/C, maka saat yang
paling tepat adalah tergantung pada hal yang konkrit yaitu saat penyerahan
barang dari penjual diberitahukan kepada pembeli.
Suatu
kredit berdokumen L/C dibuat tidak hanya berdasarkan perjanjian jual beli yang
secara tegas-tegas disebutkan, akan tetapi dianggap ada secara diam-diam
(samar-samar) di dalam perjanjian jual beli tersebut. Suatu perjanjian jual
beli tetap merupakan suatu perjanjian jual beli di dalam pengertian yang
sebenarnya, yaitu bahwa perjanjian jual beli itu telah ada segera setelah kedua
belah pihak mencapai kesepakatan tentang barang dan harganya meskipun benda itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Janji (bedingi)
atau klausula yang dimasukkan di dalam perjanjian jual beli itu tidaklah
membuat perjanjian jual beli itu menjadi suatu perjanjian dengan syarat yang
digantungkan (opschotende voorwarde).
Kewajiban
pembeli atas harga pembelian tidaklah hapus hanya karena pembeli telah menyuruh
membuka L/C kepada bank untuk kepentingan penjual. Hapusnya kewajiban membayar
dari pembeli barulah ada apabila bank sungguh-sungguh telah membayar harga
pembelian itu kepada penjual. Adanya perbuatan menyuruh membuka kredit itu
harus juga mengandung suatu pengertian bahwa risiko tentang insolvabilitas dari
bank tetap menajdi beban dari pembeli atau risiko dari pembeli.
Dalam
bentuknya yang paling sederhana, di dalam L/C terdapat tiga pihak, yaitu:
Pembeli, penjual, dan bank. Dengan adangan tiga pihak yang bersangkutan maka
berarti juga terdapat tiga hubungan di dalam kredit berdokumen (L/C), yaitu:
1.
Hubungan hukum antara Pembeli dengan Penjual
Sebagaimana
halnya transaksi jual beli pada umumnya, dalam transaksi perdagangan
internasional antara pembeli dan penjual terjadi hubungan hukum sesuai dengan
definisi jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual
beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
Dalam
transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C antara penjual dengan
pembeli tidak terdapat hubungan langsung karena pembayaran dilakukan oleh bank.
Akan tetapi pembukaan L/C tidak menghapus hak penjual atas pembayaran dan hak
itu baru hapus jika pihak bank telah membayar harga pembelian tersebut kepada
penjual.
2.
Hubungan hukum antara Pembeli dengan Bank
Perjanjian
yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara pembeli dan bank merupakan
pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah. Hubungan hukum itu
lebih tepat dipandang timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur
campuran antara perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian melakukan pekerjaan.
Kewajiban dari bank adalah membayar kepada penjual barang sesuai dengan yang
diperintahkan oleh pembeli dan bank berhak untuk menuntut penggantian dari apa
yang dibayarnya kepada penjual disertai upah. Jika pembayaran telah dilakukan
oleh bank, maka pembeli wajib membayar kepada bank dan selanjutnya berhak untuk
memperoleh dokumen-dokumen yang sebelumnya telah diteliti oleh bank.
3.
Hubungan hukum antara Penjual dengan Bank
Hubungan
hukum antara penjual dengan bank lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank
yang disetujui penjual (penerima). Persetujuan tersebut diwujudkan melalui
pengajuan kredit berdokumen yang disyaratkan L/C kepada bank tetapi penerima
tidak berkewajiban untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh pihak bank dan
sebelum L/C disetujui oleh penerima maka L/C merupakan kontrak sepihak.
2.
Pengertian L/C
Pengertian
L/C ditemukan dalam berbagai pendapat penulis dan peraturan perundang-undangan.
A Letter of Credit (LOC) is a written instrument issued by a bank at the
request of an importer obligating the bank to pay a specific amount of money to
an exporter.Sementara itu Radiks Purba menyatakan sebagai berikut: “L/C
merupakan suatu surat kredit atau pemberitahuan kredit yang dikeluarkan oleh
bank pembuka L/C atas permintaan nasabahnya yang ditujukan kepada cabangnya di
tempat lain memberitahukan kepada orang atau perusahaan yang namanya tercantum
dalam L/C itu bahwa telah sedia sejumlah dana untuknya.”
Berdasarkan
beberapa pendapat tentang pengertian L/C di atas dapat diringkaskan bahwa L/C
merupakan suatu perintah dari pembeli/importir kepada bank untuk membayar
sejumlah uang kepada penjual/eksportir.
Dari
pengertian L/C di atas didapatkan beberapa makna dari L/C, yaitu:
1.
Merupakan suatu perjanjian bank untuk menyelesaikan transaksi perdagangan
internasional.
2.
Memberikan suatu bentuk pengamanan untuk semua pihak yang bersangkutan dengan
transaksi tersebut.
3.
Menjamin pembayaran yang disediakan apabila syarat-syarat dan kondisi-kondisi dalam
L/C terpenuhi.
4.
Bahwa setiap pembayaran yang dilakukan didasarkan hanya pada dokumen-dokumen
semata dan tidak pada barang atau jasa yang bersangkutan.
Isi
L/C merupakan pernyataan bahwa eksportir/penerima L/C diberi hak oleh importir
untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi hutang) atas importir
bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang
bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yag ditarik
tersebut asal sesuai dan memenuhi syarat yang tercantum di dalam surat
tersebut.
Sebagaimana
telah disampaikan, L/C disebut juga kredit berdokumen. Dengan kata lain L/C
merupakan kredit. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang
berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya.
Jadi seseorang yang mendapatkan kredit adalah seseorang yang telah mendapat
kepercayaan dari kreditur.
Dari
beberapa pengertian tentang kredit dalam literatur terlihat bahwa kredit
merupakan suatu perjanjian yang objeknya dapat berupa uang atau barang,
meskipun titik temu antara semua pendapat itu akan menuju kepada pengertian
peminjaman uang.
3.
Jenis-jenis L/C
Penjenisan
L/C dapat dilakukan dengan berbagai ukuran atau kriteria. Berdasarkan sifat,
pembayaran, dan syarat. Menurut sifat L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1.
Revocable L/C, yaitu L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh
importir tanpa memerlukan persetujuan eksportir.
2.
Irrevocable L/C, yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan dan opening bank
mengikatkan diri untuk melunasi wesel-wesel yang ditarik dalam jangka waktu
berlakunya L/C, kecuali dengan persetujuan semua pihak yang terlibat dalam L/C.
3.
Irrevocable dan Confirmed L/C, yaitu L/C yang tidak dapat
dibatalkan sepihak dan mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel atas
penyerahan dokumen pengapalan yang diberikan oleh opening bank bersama-sama
dengan advising bank.
Sementara
itu dari segi pembayaran L/C dapat dibagi menjadi:
1.
Sight L/C, yaitu L/C yang jika semua persyaratan dipenuhi, maka
negotiating bank wajib membayar nominal L/C kepada eksportir paling lama dalam
7 hari kerja.
2.
Usance L/C, yaitu L/C yang pembayarannya baru dapat dilunasi jika L/C
tersebut sudah jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan (tanggal
Bill of Lading).
3.
Red Clause L/C, yaitu L/C di mana pembayaran dilakukan oleh negotiating
bank kepada eksportir sebelum barang dikapalkan.
Kemudian
dari segi syarat-syarat, L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1.
Open L/C, yaitu suatu L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C
untuk menegosiasikan dokumen pengapalan melalui bank mana saja yang
diingininya.
2.
Restricted L/C, yaitu kebalikan daari open L/C di mana negotiating bank
dibataasi pada bank tertentu.
3.
Documentary L/C, yaitu L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk
menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta dokumen
pelengkap lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran.
4.
Revolving L/C, yaitu L/C di mana kredit yang tersedia dapat dipakai
ulang tanpa perlu mengadakan perubahan syarat baik dalam bentuk waktu maupun
nilai uang.
5.
Back to Back L/C, yaitu L/C yang dapat dibuka lagi oleh eksportit
penerima L/C pertama kepada eksportir kedua dengan menjaminkan L/C yang
diterimanya. L/C ini biasa digunakan dalam perdagangan segi tiga.
Berikut
ini pembagian L/C yang lebih mendetail, yaitu:
a.
Dari segi kekuatan berlaku
1.
Revocable L/C: L/C yang dapat dibatalkan setiap saat tanpa perlu
persetujuan pihak lain.
2.
Irrevocable L/C: L/C yang hanya dapat dibatalkan jika disetujui oleh
semua pihak yang terkait.
3.
Irrevocable and Confirmed L/C: L/C yang tidak hanya tidak dapat
dibatalkan melainkan juga diperkuat oleh confirming bank. Jika issuing bank
tidak mau melakukan pembayaran, confirmed bank yang akan melakukan pembayaran.
b.
Dari segi pihak yang mengeluarkan L/C
1.
Bankers L/C: L/C yang diterbitkan oleh bank atas permintaan pengimpor.
Oleh karena yang mengeluarkan L/C itu bank maka bank merupakan pihak yang akan
melakukan pembayaran bukan importir.
2.
Merchant L/C: L/C dikeluarkan oleh importir bukan bank. Bank hanya
meneruskan L/C yang dibuka importir. Bank tidak bertanggungjawab atas
pembayaran L/C.
c.
Dari segi cara pembayaran
1.
Sight L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat eksportir
mengajuka wesel-wesel dan dokumen-dokumen yang disyaratkan.
2.
Usance L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat tertentu atau
jatuh tempo bukan pada saat eksportir menyerahkan dokumen-dokumen yang
disyaratkan.
d.
Dari segi persyaratan L/C
1.
Documentary L/C: Pembayaran L/C dilakukan dengan penarikan wesel
disertai dengan dokumen-dokumen yang ditentukan oleh importir.
2.
Open/clean L/C: L/C ini tidak memerlukan penyerahan dokumen-dokumen
khusus pada saat pembayaran. L/C ini dapat digunakan untuk pembayaran rutin
dengan jumlah yang tidak begitu besar.
e.
Dari segi perjanjian yang dilakukan
1.
Restricted/straight L/C: L/C hanya dapat dinegosiasi oleh bank khusus
yang disebutkan dalam setiap L/C. L/C harus memuat suatu klausula yang
menyatakan bahwa L/C tersebut hanya tersedia atau dibatasi atau hanya dapat
dinegosiaasi oleh bank tertentu saja.
2.
General L/C: L/C yang telah diteruskan oleh advisinng bank dapat
dinegosiasi oleh bank-bank lain juga tidak terbatas hanya advising bank.
f.
Dari segi hak pengekspor
1.
Transferable/assignable/divisible L/C: L/C ini berarti dapat dialihkan
dari beneficiary pertama kepada beneficiary kedua.
2.
Non transferable L/C: L/C yang tidak dapat dialihkan oleh beneficiary.
g.
L/C khusus
1.
Aflopend dan revolving L/C: L/C mempunyai jangka waktu berlaku.
Jika L/C tidak digunakan selama jangka waktu tertentu maka L/C tersebut tidak
dapat digunakan lagi.
2.
Back to back L/C: Negotiating bank membuka L/C baru untuk kepentingan
pihak ketiga atas permintaan beneficiary. Dengan demikian negotiating bank
berubah posisi menjadi issuing bank untuk back to back L/C.
3.
Red clause L/C: Dalam L/C ini terdapat klausula yang ditulis dengan
tinta merah. Klausula itu meminta negotiating bank membayar sebagian harga
kepada eksportir walaupun barang belum dikapalkan. Pembayaran seperti ini
dimaksudkan sebagai advance payment yang akan diperhitungkan dalam seluruh
pembayaran.
4.
Transit L/C: Issuing bank di negara X membuka L/C atas permintaan
applicant yang berada di negara Y melalui banknya di negara Y untuk dibayar
kepada beneficiary di negara Z melalui negotiating bank di negara Z.
5.
Negociering L/C: L/C ini membebankan tanggung jawab kepada issuing bank
sedangkan advising bank tidak mempunyai tanggung jawab. Negosiasi dalam L/C ini
berarti issuing bank wajib membeli wesel dengan harga sebesar jumlah yang
disebut dalam wesel tanpa diskon.
6.
Travellers L/C: L/C ini merupakan pengganti uang tunai. L/C ini dapat
digunakan pada saat bepergian ke negara asing. Di negara asal seseorang meminta
sebuah bank menerbitkan L/C kepadanya dengan advising bank di negara tujuan.
Untuk menjada keamanan, nomor passport dan tanda tangan pemilik disyaratkan
dalam L/C tersebut.
7.
Stand by L/C: L/C yang dikeluarkan sebagai jaminan jika ada pihak dalam
kontrak wanprestasi.
Dari
jenis-jenis L/C yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa setiap L/C
mempunyai karakteristik tertentu. Masing-masing L/C memberikan hak dan
kewajiban yang berbeda kepada eksportir, importir, bank, dan pihak-pihak lain.
Oleh karena itu, sangat perlu bagi semua pihak yang terlibat dalam L/C memahami
jenis L/C yang digunakan. Jenis L/C dapat diketahui dari isi pokok
masing-masing L/C. Untuk itu pemahaman atas isi pokok setiap L/C merupakan
keharusan bagi semua pihak agar tidak muncul penyesalan pada waktu kemudian.
Adapun
unsur-unsur pokok dalam L/C meliputi:
a.
Credit substitution, yaitu issuing bank menggantikan
(mensubstitusikan) kredibilitas applicant dengan kredibilitasnya
sendiri.
b.
Promise to pay, yaitu L/C berisi jaminan pembayaran dari issuing
kepada beneficiary.
c.
Terms and conditions, L/C merupakan jaminan pembayaran bersyarat (conditional
guarantee), dimana akan dilakukan pembayaran sepanjang beneficiary
telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam L/C.
d.
Parties, yaitu dalam suatu L/C akan terlibat beberapa pihak antara lain,
applicant, issuing bank, beneficiary, advising bank, negotiating bank atau
confirming bank (jika L/C di confirm oleh bank lain)
e.
Time, yang menyangkut expire date yaitu tanggal berakhirnya
jangka waktu berlakunya suatu L/C, latest shipment date yaitu tanggal
terakhit untuk melaksanakan pengapalan/pengiriman sesuai dengan yang ditentukan
dalam L/C dan latest presentation date, yaitu tanggal terakhir bagi beneficiary
untuk penyerahan dokumen ke bank.
L/C
tertentu memberikan perlindungan kepada satu pihak tetapi dapat merugikan pihak
lain. Sehubungan dengan itu, setiap pihak yang terkait dengan L/C, terutama
eksportir dan importir, perlu melakukan perundingan untuk menemukan jenis yang
dapat diterima semua pihak atau menguntungkan semua pihak sehingga tidak akan
menimbulkan ketidakpuasan satu atau beberapa pihak.
4.
Dokumen-dokumen L/C
Berdasarkan
ketentuan di atas dokumen yang dipersyaratkan untuk setiap L/C dapat berbeda.
Meskipun demikian secara umum syarat-syarat yang harus ditetapkan itu antara
lain sebagi berikut:
1)
L/C
yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of credit.
2)
Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen
berikut:
a.
Full set of Bill of Lading (Konosemen)
b.
Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)
c.
Packing List
d.
Weight note
e.
Measurement List
f.
Insurance Certificate
g.
Consular Invoice
h.
Brochure/leaflet
i.
Surveyor Report
j.
Manufacture’s Certificate
k.
Certificate of Origin
l.
Processing License
m.
Instruction Manual
Beberapa
diantara dokumen di atas yang penting dapat dijelaskan sebagai berikut: Bill
of Lading (Konosemen) merupakan dokumen pengangkutan tentang barang-barang
yang diangkut dengan kapal laut. Dalam Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) dinyatakan sebagai berikut.
“Konosemen
adalah sepucuk surat yang ditanggali, dimana pengangkut menyatakan bahwa ia
telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan
yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk beserta
dengan klausula-klausula apa penyerahan akan terjadi.”
Konosemen
dibuat oleh pengangkut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 504 KUHD yang
menyatakan bahwa “pengirim apat menginginkan supaya oleh pengangku dengan
mencabut bukti penerimaan yang mungkin telah diberikan olehnya dikeluarkan
konosemen tentang barang-barang yang diterimanya untuk diangkut.
Meskipun
demikian, dalam hal-hal tertentu konosemen dapat dibuat oleh pihak lain, yaitu
nakoda. Pasal 505 KUHD berbunyi demikian:
“Nakoda
berwenang mengeluarkan konosemen-konosemen untuk barang-barang yang diterima
untuk dimuatkan dalam kapal yang dipimpinnya, kecuali bilamana orang lain
dibebani dengan pengeluaran itu.”
Commercial
Invoice
(Faktur Perdagangan) adalah surat keterangan dari eksportir mengenai barang
yang dikirim kepada importir. Faktur perdagangan berisi hal-hal berikut:
1.
Nama dan alamat eksportir
2.
Nama dan alamat importir
3.
Jenis dan kualitas barang
4.
Nama kapal
5.
Nama perusahaan pelayaran pengangkut
6.
Tanggal keberangkatan kapal
7.
Nama pelabuhan asal
8.
Nama pelabuhan tujuan
Packing
List
(daftar isi) dibuat oleh eksportir. Daftar ini berisi keterangan dan perincian
mengenai isi setiap peti, karung, dan lain-lain. Daftar ini sangat penting
terlebih jika barang yang dikirim tidak sejenis melainkan mempunyai perbedaan
bentuk, warga, berat, dan sebagainya.
Insurance
Certificate
(polis asuransi) sangat penting dalam L/C. Mengenai dokumen asuransi Pasal 34
UCP abatara lain berbunyi sebagai berikut:
a.
Dokumen asuransi secara nyata harus diterbitkan atau ditandatangani oleh
pejabat perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin (underwriter) atau agen
mereka.
b.
Jika dokumen asuransi menunjukkan bahwa dokumen tersebut diterbitkan lebih dari
satu dokumen asli, semua dokumen asli tersebut harus diserahkan kecuali apabila
sebaliknya diperkenankan oleh kredit.
c.
“Cover notes” yang diterbitkan oleh perantara tidak akan diterima, kecuali
apabila diperkenankan secara khusus oleh kredit.
d.
Kecuali ditentukan lain di dalam kredit, bank akan menerima sertifikat asuransi
atau deklarasi atas dasar suatu “open cover” yang ditandatangani terlebih
dahulu oleh perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin atau agen mereka. Jika
suatu kredit secara khusus mensyaratkan suatu sertifkat asuransi atau deklarasi
atas dasar suatu open cover, bank-bank akan menerima suatu polis asuransi
sebagai gantinya.
Memperhatikan
dokumen-dokumen yang dibutuhkan dapat dikatakan pihak yang terlibat dalam
setiap pembayaran dengan L/C cukup banyak. Dengan demikian kelancaran
pembayaran L/C tergantung kepada banyak pihak juga, tidak cukup hanya eksportir
dan importir. Oleh karena itu kerja sama antara semua pihak yang terlibat
sangat dibutuhkan. Pembebanan kesalahan atas permasalahan L/C kepada eksportir
dan/atau importir saja untuk beberapa kasus menjadi tidak tepat. Sangat mungkin
permasalahan bukan disebabkan oleh kesalahan eksportir dan/atau importir
melainkan pihak-pihak lain.
5.
Mekanisme L/C
Dalam
suatu jual beli ekspor/impor pembukaan L/C dapat dilakukan setelah ada kontrak
berupa Sales Contract atau Confirmation of Sales. Mekanisme L/C
secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli mana
pembeli diwajibkan membuka L/C.
2.
Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa langganannya untuk
manfaat pihak penjual.
3.
Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank korepondennya di
negara penikmat.
4.
Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.
5.
Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada pembeli.
6.
Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim kepada
pembeli.
7.
Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.
8.
Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim ke issuing
bank.
9.
Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada advising bank.
10.
Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing bank setekah
dinotifikasi oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah datang.
11.
Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan
dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.
Tahapan
pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:
a.
Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales contract bahwa payment
dilakukan menurut documentary credit.
b.
Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing Bank)
untuk membuka documentary credit untuk penjual.
c.
The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual (Correspondent Bank)
untuk melakukan negosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas
penyerahan dari dokumen pengapalan.
d.
Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi, menerima, atau
membayar exporter draft atas penyerahan dokumen pengapalan.
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa pembayaran dengan L/C tidak sederhana,
memerlukan waktu, biaya, dan lain-lain. Akan tetapi cara pembayaran ini tetap
saja dipilih karena lebih dapat menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak
yang terlibat. Meskipun begitu tidak berarti L/C merupakan cara pembayaran yang
sempurna. Berbagai masalah masih dapat timbul, baik disengaja maupun tidak oleh
pihak tertentu. Pilihan terhadap L/C tetap dilakukan mungkin karena belum ada
cara lain yang lebih baik.
6.
Pihak-pihak Dalam L/C
Sehubungan
dengan jenis-jenis L/C yang dikenal saat ini, para pihak-pihak yang terkait
dapat berbeda satu sama lain. Akan tetapi secara umum pihak-pihak yang terlibat
dalam L/C adalah:
a.
Pihak Pembeli
Pihak
pembeli adalah pihak imporir yang membeli barang dan membuka L/C.
b.
Pihak Penjual
Pihak
penjual adalah pihak eksporir terhadapnya L/C dibuka.
c.
Pihak Pembuka L/C
Bank
pembuka L/C atau yang disebut dengan issuing bank adalah bank yang
membuka L/C setelah dimintakan oleh pihak pembeli.
d.
Pihak Penerus L/C
Bank
penerus L/C adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C untuk meneruskan
L/C dan membayarkan kepada pihak penjual. Bank penerus L/C ini disebut juga
dengan Conforming Bank, Correspondent Bank, Advising Bank, Paying Bank,
atau Negotiating Bank
Meskipun
para pihak sudah jelas tetapi pembayaran tidak dapat serta merta dilaksanakan
sebab masih perlu melengkapi syarat-syarat tertentu. Dalam L/C lazim ditentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi eksportir agar dapat menerima pembayaran,
antara lain:
1)
L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of Credit.
2)
Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen
berikut:
a.
Full set of Bill of Lading (Konosemen)
b.
Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)
Setelah
para pihak jelas dan dokumen yang disyaratkan terpenuhi barulah pembayaran
dapan dilaksanakan. Kenyataan ini tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang
negatif dari L/C. Sebaliknya kenyataan itu justeru merupakan salah satu
kelebihan L/C dalam rangka melindungi kepentingan semua pihak yang terkait.
7.
Peralihan L/C
L/C
dapat dialihkan jika termasuk transferable credit. Kredit hanya bisa
dialihkan jika secara tegas ditetapkan sebagai “transferable” oleh issuing
bank. Istilah-istilah seperti “divisible”, “fractionable”, “assignable” dan
“transmisible” tidak berarti kredit tersebut dapat dipindahtangankan. Jika
istilah-istilah demikian digunakan istilah-istilah tersebut akan diabaikan.
Suatu
transferable credit adalah kredit atas dasar mana beneficiary (beneficiary
pertama) boleh meminta bank yang diberikan kuasa untuk membayar, menjamin
pembayaran kemudian, mengaksep atau menegosiasi (Transfering Bank) atau,
dalam hal suatu kredit yang dapat dinegosiasi secara bebas, bank yang secara
khusus diberi kuasa dalam kredit sebagai Transferring Bank, akan
melaksanakan pengalihan kredit seluruhnya atau sebagian pada satu atau beberapa
beneficiary lainnya (beneficiary kedua)
Pengalihan
L/C tidak dapat dilakukan begitu saja secara bebas melainkan harus
memperhatikan beberapa pembatasan, misalnya hanya dapat dialihkan dengan
persyaratan dan kondisi sebagaimana disebutkan dalam kredit aslinya, dengan
pengecualian:
1.
nilai kredit,
2.
harga satuan yang disebutkannya,
3.
tanggal jatuh temo,
4.
tanggal terakhir penyerahan dokumen sesuai dengan Pasal 43,
5.
masa pengalihan,
satu
atau seluruhnya boleh dikurangi atau dihapuskan.
Persentase
nilai pertanggungan asuransi yang harus ditutup (untuk masing-masing bagian)
boleh dinaikkan untuk memenuhi nilai pertanggungan yang ditentukan dalam kredit
aslinya. Disamping itu, beneficiary pertama dapat menggantikan nama aplicant,
tetapi jika nama aplicant secara khusus disyaratkan oleh kredit aslinya untuk
disebutkan dalam semua dokumen kecuali faktur, persyaratan tersebut harus
dipenuhi.
Kecuali
jika ditentukan lain di dalam kredit suatu transferable kredit dapat
dipindahtangankan hanya sekali saja. Oleh karena itu kredit tersebut tidak
dapat dipindahtangankan atas permintaan beneficiary kedua kepada beneficiary
ketiga berikutnya. Akan tetapi pengalihan kembali (retransfer) kepada
beneficiary pertama tidak dilarang.
Ketentuan
pengalihan L/C hanya dapat dilakukan satu kali bukan tanpa alasan. Pembatasan
ini perlu antara lain untuk mencegah atau paling tidak mengurangi kesulitan
jika timbul permasalahan, misalnya terjadi kekurangan dokumen. Dengan
pembatasan tersebut akan lebih mudah ditemukan pihak-pihak yang terkait yang
masih perlu melengkapi dokumen. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu masalah dapat diharapkan tidak terlalu besar karena pihak
yang terlibat terbatas.
Sumber:
http://bnpds.wordpress.com
DAFTAR
PUSTAKA
Amir
M.S, Ekspor Impor: Teori & Penerapannya, Jakarta: PPM, 2001.
__________,
Kontrak Dagang Ekspor, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Budiman
N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif
Sekretaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Budiono
Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta: Gramedia
Widiasarana, 2001.
Chairul
Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Novindo Pustaka
Mandiri, 2001.
Djuhaendah
Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996.
Emmy
Pangaribuan Simanjuntak, Pembukaan Kredit Berdokumen, Yogyakarta: Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1995.
Gunawan
Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis. Transaksi Bisnis Internasional
(Ekspor-Impor), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Gunawan
Widjaja & Kartini Mulyadi, Seri Hukum Perikatan. Jual Beli, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.
Hasanuddin
Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam
Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
J.
Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Michael
Melvin, International Money and Finance, New York: Harper Collins
College Publisher, 1995.
Munir
Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999.
__________,
Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.
__________,
Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
P.S
Atiyah, An Introduction To The Law of Contract, Oxford: Oxford
University Press, 1981.
R
Setiawan Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra A Bardin, 1999.
Radiks
Purba, Pengetahuan Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Jakarta: Pustaka
Dian, 1984.
Riduan
Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni,
1985.
Soepriyo
Andhibroto, Letter of Credit Dalam Teori dan Praktek, Semarang: Dahara
Prize, 1992.
Subekti,
Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Subekti,
Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1996.
Taryana
Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.